Pada saat tertentu dalam
hidup kita, ada rasa luka dan kekecewaan yang mendalam dan rasanya tak akan
pernah berhenti. Jika bukan hanya satu hal, tetapi hal yang lainnya. Kita berusaha
dengan keras untuk menghadapi semuanya. Kita berusaha untuk menjadi yang
terbaik dan melakukan yang benar sesuai apa yang orang inginkan. Kita bekerja dan
berjuang hari demi hari. Kita diberitahu sesungguhnya ada pahala di luar sana
atas penderitaan yang kita alami, tapi di mana? Ada pahala, tapi memberatkan,
masih ada luka, terlalu banyak luka, dan menyakitkan. Kita juga melihat itu
terlukis di wajah orang lain. Ya, lukisan tentang derama kehidupan. Badan terasa
sakit dan hati terasa tercabik, dan inginnya bebas dari semua luka-luka itu. Namun
kehidupan membuat kita terus berlari hingga tubuh kita begitu lemah dan berhenti
sejenak untuk bernafas. Terkadang rasa sakit mulai menerobos memasung seluruh
jiwa kita, dan kesakitan yang mengerikan itu menghancurkan dunia kita saat ini.
Kesakitan yang begitu mendalam dan taktertahankan itu hingga seperti kematian
menjemput kita bagai seorang dermawan yang baik hati. Mungkin itu juga bukan sebuah guncangan atas kesakitan
tetapi lebih kepada perasaan kesepian, ketidakpuasan dan dua perasaan yang
betentangan yang rasanya akan berlangsung selamanya. Segala kepedihan sepertinya
menjadi identitas kita. Frustrasi yang terpendam, cinta bertepuk sebelah
tangan, penolakan, tak dihargai dan sebagainya. Sepertinya kita mati rasa atas
semua itu. Tetapi sebagian besar dari kita mencoba untuk tenang dan nyaman. Ada
yang bertahan dalam kepedihan sampai tidak tidak bisa memetik makna sama sekali;
dan itulah yang dinamakan dengan—mati rasa—dan dan secara tragis melumpuhkan
hasrat kita. Adaptasi merupakan satu jalan dimana kita bergerak di tepi jeritan.
Dan kita sulit menjerit ketika kita tidak bisa bernafas di bawah semua tekanan,
dan sepertinya tekanan itu menanti kita selamanya.
Author: Bryant McGill
Translator:
JoeSimpleRemindersmengatasikesulitanhidup.com
No comments:
Post a Comment